Rumah La Nyalla Mattalitti Di Sasar KPK Dugaan Kasus Korupsi Dana Hibah DPRD Propinsi Jawa Timur
-Baca Juga
Kasus dugaan korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur yang sedang disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyeret sejumlah nama dan memasuki babak baru dalam perkembangannya. Informasi terkini terkait kasus ini Senin, 14 April 2025.
KPK melakukan penggeledahan di rumah anggota DPD RI, La Nyalla Mattalitti, di Surabaya. Penggeledahan ini terkait dengan penyidikan kasus dugaan korupsi pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) dari APBD Provinsi Jawa Timur.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, membenarkan adanya penggeledahan tersebut. Namun, detail lebih lanjut mengenai hasil penggeledahan belum diumumkan.
KPK saat ini fokus pada pendalaman kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) di Jawa Timur.
Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Dari 21 tersangka tersebut, 4 orang merupakan penerima suap (penyelenggara negara dan stafnya), dan 17 orang merupakan pemberi suap (pihak swasta dan penyelenggara negara).
Aset yang Disita: KPK telah menyita sejumlah aset yang diduga terkait dengan hasil tindak pidana korupsi ini.
Pada Januari 2025, KPK menyita tiga unit tanah dan bangunan di Surabaya serta satu unit apartemen di Malang senilai Rp 8,1 miliar yang dikuasai oleh mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024, Anwar Sadad.
Keterlibatan Pihak Lain: Dalam persidangan sebelumnya terungkap bahwa korupsi dana hibah ini tidak hanya melibatkan Wakil Ketua DPRD Jatim sebelumnya, Sahat Tua Simandjuntak (yang telah divonis 9 tahun penjara), tetapi juga menyeret nama-nama pimpinan dan anggota dewan lainnya.
Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, juga disebut terlibat dan rumahnya telah digeledah oleh KPK.
Mantan Ketua DPRD Jawa Timur juga diduga terlibat, bahkan disebut membeli tanah dari petani menggunakan dana hibah.
Modus Operandi: Diduga, para tersangka penerima suap telah menerima sejumlah uang dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas).
Sahat Tua Simandjuntak sendiri diduga menerima sekitar Rp. 5 miliar dari pengurusan dana hibah sejak tahun 2020-2023, di mana total anggaran hibah yang dialokasikan mencapai sekitar Rp. 200 miliar.
Proses Hukum: KPK terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait kasus ini, termasuk anggota dan mantan anggota DPRD Jawa Timur, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Proses persidangan terhadap beberapa tersangka sebelumnya telah dilakukan di Pengadilan Tipikor Surabaya.
KPK masih terus mendalami kasus ini dan tidak menutup kemungkinan adanya penetapan tersangka baru seiring dengan perkembangan penyidikan. Informasi lebih lanjut mengenai identitas tersangka dan detail perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan akan disampaikan oleh KPK pada waktu yang tepat setelah penyidikan dianggap cukup.
La Nyalla Mattalitti adalah seorang tokoh politik dan pengusaha Indonesia. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai dirinya:
Anggota DPD RI: Saat ini, La Nyalla Mattalitti menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Mantan Ketua DPD RI: Ia pernah menjabat sebagai Ketua DPD RI periode 2019-2024.
Ketua Umum PSSI: La Nyalla pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada periode 2015-2016. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Ketua KADIN Jawa Timur: Ia pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Provinsi Jawa Timur.
Ketua MPW Pemuda Pancasila Jawa Timur: La Nyalla juga dikenal sebagai Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila Jawa Timur.
Pengusaha: Selain aktif di organisasi dan politik, La Nyalla juga merupakan seorang pengusaha.
Alasan KPK menggeledah rumah La Nyalla Mattalitti terkait dugaan korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur adalah karena adanya indikasi keterkaitan dirinya dengan kasus tersebut.
Meskipun detail keterlibatannya belum diumumkan secara resmi oleh KPK, penggeledahan ini merupakan bagian dari proses penyidikan untuk mencari bukti-bukti yang relevan dengan dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) dari APBD Provinsi Jawa Timur.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, membenarkan adanya penggeledahan di rumah La Nyalla di Surabaya pada Senin, 14 April 2025. Namun, ia belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai hasil penggeledahan maupun peran spesifik La Nyalla dalam kasus ini.
La Nyalla sendiri mengaku bingung mengapa rumahnya digeledah dan menyatakan tidak memiliki hubungan dengan kasus tersebut maupun dengan mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, yang namanya juga disebut dalam persidangan kasus ini. Ia juga menegaskan bahwa dirinya bukan penerima dana hibah.
Para koruptor dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur kemungkinan besar akan dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Berikut adalah beberapa pasal yang relevan dan sering digunakan dalam kasus korupsi:
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor: Pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pidana: Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (2) pasal ini mengatur pemberatan pidana mati jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
Pasal 3 UU Tipikor: Pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Pidana: Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selain pasal-pasal utama di atas, tergantung pada peran dan perbuatan korupsi tersangka, mereka juga dapat dijerat dengan pasal-pasal lain seperti:
Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Tipikor: Jika ada unsur suap menyuap kepada penyelenggara negara.
Pasal 11 UU Tipikor: Jika penyelenggara negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau karena perbuatannya atau tidak berbuatnya dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf a, b, c, d, e, f, atau g UU Tipikor: Jika penyelenggara negara melakukan pemerasan, menerima hadiah terkait jabatannya, atau melakukan perbuatan lain yang dilarang bagi pegawai negeri.
Pasal 13 UU Tipikor: Jika memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 15 UU Tipikor: Percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Penting untuk dicatat bahwa pasal dan pidana yang dikenakan pada setiap tersangka akan bergantung pada hasil penyidikan dan pembuktian di pengadilan terhadap peran dan perbuatan masing-masing individu. KPK akan mendalami fakta-fakta yang ada untuk menentukan pasal yang paling tepat untuk menjerat para pelaku korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur ini.
Jika dalam penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur ditemukan bukti adanya gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka para pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal terkait dalam undang-undang yang berbeda, selain dari UU Tipikor.
Gratifikasi: Keterlibatan dalam gratifikasi dalam konteks kasus ini kemungkinan akan dijerat dengan: Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): Pasal ini mengatur mengenai penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pidana: Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C UU Tipikor: Pasal ini mengatur kewajiban bagi penerima gratifikasi untuk melaporkannya kepada KPK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya gratifikasi. Jika tidak dilaporkan, gratifikasi tersebut dianggap suap.
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU): Jika hasil dari tindak pidana korupsi (termasuk suap atau gratifikasi terkait dana hibah) kemudian diupayakan untuk disembunyikan atau dialihkan agar tampak seperti harta kekayaan yang sah, maka pelaku dapat dijerat dengan: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Beberapa pasal yang relevan meliputi: Pasal 3 UU TPPU: Mengenai setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 4 UU TPPU: Mengenai setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5 UU TPPU: Mengenai setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penerapan Pasal: Dalam praktik penegakan hukum, seseorang yang terlibat dalam korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur dapat dijerat dengan kumulasi pasal, yaitu pasal-pasal dari UU Tipikor terkait korupsi pokok (misalnya Pasal 2 atau Pasal 3) dan pasal-pasal dari UU Tipikor terkait suap atau gratifikasi (jika terbukti ada), serta pasal-pasal dari UU TPPU jika ditemukan bukti adanya upaya pencucian uang hasil korupsi tersebut.
Kewenangan untuk menentukan pasal yang tepat akan berada pada penyidik dan penuntut umum berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan selama proses penyidikan.
Penerapan pidana perampasan aset koruptor sangat mungkin diterapkan dalam konteks kasus dugaan korupsi dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur jika terbukti adanya tindak pidana korupsi dan ditemukan aset-aset yang merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.
Dasar Hukum Pidana Perampasan Aset Koruptor di Indonesia: Indonesia memiliki beberapa dasar hukum yang memungkinkan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor):
Pasal 18 ayat (1) huruf b: Mengatur mengenai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak maupun tidak bergerak yang dipergunakan untuk atau yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 18 ayat (2): Jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU):
UU TPPU memiliki mekanisme yang lebih komprehensif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi sebagai salah satu predicate crime-nya.
Pasal 76 sampai Pasal 82 UU TPPU mengatur mengenai kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk melakukan penyitaan dan perampasan aset yang diduga terkait dengan TPPU.
Konsep Follow the Money: UU TPPU memungkinkan penelusuran aset yang telah dialihkan atau diubah bentuknya.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset): Meskipun belum disahkan menjadi undang-undang, RUU ini bertujuan untuk memperkuat mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, termasuk korupsi, dengan mekanisme yang lebih efektif dan tanpa harus menunggu adanya putusan pidana berkekuatan hukum tetap (in absentia). Jika RUU ini disahkan, akan semakin memperkuat upaya perampasan aset koruptor.
Penerapan dalam Konteks Dana Hibah DPRD Jawa Timur: Jika dalam penyidikan kasus dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur ditemukan bukti bahwa aset-aset tertentu diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi (misalnya, uang suap yang dibelikan properti, kendaraan, atau aset lainnya), maka KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan aset tersebut.
Selanjutnya, dalam proses persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat menuntut agar aset-aset tersebut dirampas untuk negara sebagai bagian dari pidana tambahan.
Mekanisme Perampasan Aset: Penyidikan: KPK akan melakukan pelacakan aset (asset tracing) untuk mengidentifikasi aset-aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Penyitaan: Berdasarkan surat perintah penyitaan dari pengadilan, KPK dapat melakukan penyitaan terhadap aset-aset tersebut.
Penuntutan: JPU akan mengajukan tuntutan pidana pokok dan pidana tambahan berupa perampasan aset di pengadilan.
Putusan Pengadilan: Hakim akan memutuskan apakah aset-aset yang disita terbukti merupakan hasil tindak pidana korupsi dan memerintahkan perampasan aset tersebut untuk negara.
Eksekusi: Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa akan melakukan eksekusi terhadap aset yang dirampas.
Penting untuk dicatat: Perampasan aset harus didasarkan pada bukti yang kuat bahwa aset tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan tindak pidana korupsi.
Proses perampasan aset harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan menghormati hak-hak pihak terkait.
Dalam kasus dana hibah DPRD Provinsi Jawa Timur, jika KPK berhasil membuktikan adanya aliran dana korupsi ke aset-aset tertentu milik para tersangka atau pihak terkait, maka sangat mungkin pidana perampasan aset akan diterapkan sebagai upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.
Writer Dion
Editor AGan