Seniman Reog Ponorogo Bangkitkan Kembali Mbah Dubrok, Barongan Legendaris Tahun 1927
-Baca Juga
Perayaan Pusaka Tumpak Landep di Desa Beton, Siman, Ponorogo, Jawa Timur, baru-baru ini menyajikan pemandangan yang memukau. Bukan hanya penjamasan puluhan keris dan tombak pusaka dengan air tujuh mata air bertuah, acara tahunan ini juga menandai kebangkitan kembali sebuah ikon budaya: Barongan bernama Mbah Dubrok, yang diperkirakan telah berusia hampir seabad, tercipta sekitar tahun 1927.
Reog Mbah DUBROK 1927
Tumpak Landep sendiri merupakan tradisi yang sarat makna bagi para pecinta pusaka di Ponorogo. Upacara penjamasan ini merupakan wujud syukur dan penghormatan terhadap benda-benda pusaka yang dianggap keramat. Tahun ini, kemunculan Mbah Dubrok dalam perayaan tersebut menambah semarak dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Barongan tua ini, dengan segala detail dan keunikannya, menjadi pusat perhatian dan daya tarik tersendiri.
Kehadiran Mbah Dubrok bukan sekadar pajangan. Ia merupakan bukti nyata komitmen para seniman Reog Ponorogo dalam melestarikan warisan budaya leluhur. Dengan penuh kehati-hatian dan keahlian, mereka menghidupkan kembali Barongan ini, menunjukkan betapa pentingnya menjaga kelangsungan kesenian Reog yang menjadi ikon kebanggaan Ponorogo. Reog Ponorogo sendiri memiliki signifikansi historis yang penting, mencerminkan sejarah, budaya, dan kepercayaan masyarakat setempat. Melalui perayaan Tumpak Landep dan kebangkitan Mbah Dubrok, kita melihat bagaimana tradisi dan seni dapat berjalan beriringan, saling memperkuat dan memperkaya satu sama lain.
Ponorogo, sebagai tanah kelahiran Reog, memang dikenal dengan kekayaan tradisi dan budayanya yang masih terjaga dengan baik. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa semangat pelestarian budaya masih bersemi kuat di hati masyarakatnya. Semoga semangat ini terus berlanjut, sehingga warisan budaya tak ternilai ini dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang. Mbah Dubrok, sebagai simbol dari semangat tersebut, akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan menghormati akar budaya kita.
Writer Dion
Editorial Djose