Mentari Senja di Gresik: Kisah Sunan Boto Putih
-Baca Juga
Badai menerjang. Perahu kecil yang membawa Pangeran Lanang Dangiran oleng hebat, diterjang gelombang yang ganas. Bukan sekadar badai, tetapi juga pengejaran dari prajurit Majapahit yang memburu sang pangeran karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Di tengah badai dan kejaran itu, Lanang Dangiran berdoa, ketika itu Majapahit dalam kondisi perang saudara. Majapahit Barat dan Majapahit Timur. memohon perlindungan kepada Allah SWT. Mentari senja di ufuk barat seakan menyaksikan perjuangannya yang putus asa. Akhirnya, perahu itu hancur di pantai Gresik, melemparkannya ke pantai yang asing dan penuh misteri.
Lanang Dangiran terbangun dengan luka-luka, tubuhnya basah kuyup, di antara aroma amis laut dan pasir pantai. Namun, seutas senyum tipis tetap menghiasi bibirnya. Kitab suci yang selalu dipeluknya masih utuh, memberikannya kekuatan dan ketenangan. Ia bukan sekadar pangeran, ia adalah seorang pejuang agama.
Kyai Kendil Wesi, seorang kyai tua yang dikenal bijaksana dan sakti, menemukannya. "Anak muda, siapa kau?" tanyanya, suaranya berwibawa namun penuh empati.
"Saya Pangeran Lanang Dangiran," jawab Lanang, suaranya masih lemah. "Putra Sunan Tawangalun. Saya datang untuk menyebarkan Islam di Surabaya."
Kyai Kendil Wesi mengerutkan kening. "Surabaya... kota pelabuhan yang ramai dan semrawut. Pedagang dari berbagai penjuru Nusantara berlalu lalang di pelabuhannya yang sibuk, menawarkan rempah-rempah, kain sutra, porselen, dan berbagai barang dagangan lainnya. Bau amis ikan bercampur dengan aroma rempah-rempah yang harum memenuhi udara. Rumah-rumah penduduk berjejer rapat di sepanjang Kali Mas, bercampur dengan bangunan-bangunan megah milik para bangsawan dan pejabat Majapahit. Namun, di balik kemegahan itu, terdapat perselisihan dan perebutan kekuasaan. Ajaranmu akan menghadapi banyak tantangan, bahkan ancaman pembunuhan.
Lanang Dangiran tiba di Surabaya. Ia menyaksikan sendiri kemegahan dan kekacauan kota itu. Ia melihat kesenjangan sosial yang tajam antara kaum bangsawan dan rakyat jelata. Ia juga melihat bagaimana kepercayaan lama masih kuat di kalangan masyarakat, bercampur dengan ajaran-ajaran baru yang masuk dari berbagai penjuru.
Lanang Dangiran bukan hanya berdakwah dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Ia membantu masyarakat yang miskin dan tertindas. Ia mengobati orang sakit, mengajar anak-anak, dan selalu bersikap adil. Ia mendirikan sebuah surau kecil di pinggir kali, tempat ia mengajarkan ajaran Islam dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.
Namun, perlawanan datang dari berbagai pihak. Para pemimpin adat yang merasa kekuasaannya terancam, mencoba menghalang-halangi dakwahnya. Bahkan, ada yang mencoba membunuhnya. Lanang Dangiran menghadapi semua itu dengan keberanian dan kesabaran. Ia tidak pernah menyerah.
Puncaknya, Lanang Dangiran harus menghadapi seorang pendekar sakti yang diutus untuk membunuhnya. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Namun, dengan ilmu bela diri yang dimilikinya dan pertolongan Allah SWT, Lanang Dangiran berhasil mengalahkan lawannya. Kemenangannya itu semakin memperkuat posisinya di hati masyarakat Surabaya.
Lanang Dangiran, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Boto Putih, berhasil menyebarkan Islam di Surabaya. Ia bukan hanya seorang pangeran, tetapi juga seorang pemimpin yang bijaksana, berani, dan penuh kasih sayang. Kisahnya menjadi legenda, menginspirasi generasi-generasi berikutnya. Mentari senja di Gresik, saksi bisu awal perjalanan panjang seorang pangeran yang menjadi waliyullah yang agung.
Kompleks Makam Boto Putih di Surabaya adalah tempat pemakaman bersejarah yang memiliki makna penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur.
Sunan Boto Putih: Beliau adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di Surabaya pada abad ke-15.
Makam beliau menjadi tujuan ziarah banyak orang, terutama setelah mengunjungi Makam Sunan Ampel.
Maulana Mohammad Syaifuddin (Sultan Banten ke XVII-terakhir): Makamnya bersebelahan dengan makam Sunan Boto Putih. Beliau wafat pada 3 Rajab 1318 H/11 November 1899.
Salah satu area besar dalam kompleks makam Boto Putih adalah makam Pangeran Lanang Dangiran.
Area besar lainnya adalah makam Al Habib Syekh Bin Ahmad Bin Abdullah Bafaqih
Selain tokoh-tokoh tersebut, kompleks pemakaman ini juga merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi para bangsawan (adipati) di Surabaya.
Kompleks Makam Boto Putih terletak di Jalan Pegirian, Surabaya, dan memiliki luas sekitar 4.000 meter persegi. Tempat ini terbagi menjadi dua area besar, yaitu makam Pangeran Lanang Dangiran dan makam Al Habib Syekh Bin Ahmad Bin Abdullah Bafaqih.
Kompleks Makam Boto Putih di Surabaya bukan hanya tempat peristirahatan terakhir bagi tokoh agama, tetapi juga bagi beberapa pejabat Keraton dan tokoh penting lainnya. Berikut beberapa di antaranya:
Raden Adipati Ario Tjokronegoro IV: Beliau adalah Bupati pertama Surabaya. Dari garis keturunan, beliau adalah cucu dari Sunan Boto Putih.
Maulana Mohammad Syaifuddin (Sultan Banten XVII): Beliau raja terakhir dari kesultanan Banten.
Pangeran Lanang Dangiran: Tokoh utama yang dimakamkan di kompleks makam tersebut, dan karena dimakamkan didaerah Bata Putih, maka masyarakat popular menyebutnya Sunan Boto Putih
Raden Adipati Panji Djimat Tjokronegoro II: Bupati Sidoarjo ke 2.
Kompleks makam ini memang dikenal sebagai tempat pemakaman para bangsawan (adipati) di Surabaya, sehingga banyak pejabat Keraton dan tokoh penting lainnya yang dimakamkan di sana.
Writer Riendr
Editorial AGan