Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Hasil Pilkada Serentak 2024: Menunggu Arahan Presiden dan Mahkamah Konstitusi
-Baca Juga
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, menyampaikan bahwa pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 masih menunggu arahan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, serta konsultasi lebih lanjut dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan ini disampaikan Bima Arya di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, 30 Desember 2024.
Wamendagri menekankan pentingnya prinsip keserentakan dalam pelaksanaan pelantikan. Namun demikian, Pemerintah juga menghormati proses hukum yang sedang berjalan, termasuk proses penyelesaian sengketa Pilkada yang diajukan ke MK. Oleh karena itu, penentuan jadwal pelantikan perlu mempertimbangkan perkembangan hukum tersebut.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menurut Wamendagri, akan memfokuskan pembahasan rencana jadwal pelantikan pada awal tahun 2025. Saat ini, prioritas utama adalah konsultasi dan koordinasi untuk memastikan kepastian hukum dan terwujudnya keserentakan pelantikan.
Bima Arya menjelaskan bahwa putusan MK sebelumnya mengatur agar pelantikan memperhatikan prinsip keserentakan. Namun, terdapat pengecualian bagi daerah yang gugatannya dikabulkan MK dan harus melaksanakan Pilkada ulang. Oleh karena itu, diperlukan konsultasi lebih lanjut untuk memastikan interpretasi yang tepat terhadap ketentuan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, jadwal pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak 2024 ditetapkan sebagai berikut:
Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur: dilaksanakan secara serentak pada tanggal 7 Februari 2025.
Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota: dilaksanakan secara serentak pada tanggal 10 Februari 2025.
Perpres juga mengatur bahwa pelantikan kepala daerah dapat dilaksanakan setelah tanggal yang telah ditetapkan dengan catatan terdapat tiga kondisi khusus:
Perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.
Keadaan memaksa (force majeure) yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan pelantikan
"Force majeure" merujuk pada kejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi dan di luar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, sehingga menyebabkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Berikut beberapa contoh kejadian force majeure:
Bencana Alam: Gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, badai, kekeringan, dan tanah longsor.
Peristiwa Politik: Perang, kerusuhan, demonstrasi besar, kudeta, embargo, dan perubahan peraturan pemerintah yang tidak terduga.
Keadaan Darurat: Pandemi, wabah penyakit, bencana nuklir, dan serangan teroris.
Gangguan Teknis: Kegagalan sistem komputer yang parah, serangan siber yang masif, atau gangguan listrik skala besar.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kejadian yang tidak terduga dapat dikategorikan sebagai force majeure. Keadaan tersebut haruslah: Tidak dapat diprediksi sebelumnya: Misalnya, jika terjadi gempa bumi di suatu wilayah yang tidak pernah mengalami gempa, maka ini dapat dianggap sebagai force majeure.
Di luar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian: Artinya, pihak yang terdampak tidak dapat mencegah atau mengendalikan kejadian tersebut.
Dalam kasus pelantikan kepala daerah, kejadian force majeure dapat menyebabkan penundaan pelantikan, seperti bencana alam yang melanda wilayah tersebut atau wabah penyakit yang meluas.
Penulis Dion
Editor Djose