Kasus Korupsi Situbondo Penahanan Bupati Suswandi dan Krisis Kepercayaan Publik yang Sistemik
-Baca Juga
Jakarta - Penahanan Bupati Situbondo, Karna Suswandi (KS), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 Januari 2025, bukan sekadar peristiwa hukum biasa, ini adalah pukulan telak terhadap kepercayaan publik dan sinyalemen kuat rusaknya tata kelola pemerintahan di daerah. Bersama Eko Prionggo Jati (EP), Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Situbondo, KS kini berada di balik jeruji besi, membayangi dampak korupsi yang menghancurkan kepercayaan masyarakat. Kasus ini, yang melibatkan dugaan penyelewengan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan pengadaan barang/jasa senilai miliaran rupiah, menunjukkan betapa rentannya sistem pemerintahan daerah terhadap praktik korupsi yang sistematis. Data dari KPK menunjukkan peningkatan kasus korupsi di sektor pengadaan barang/jasa dalam beberapa tahun terakhir, mengindikasikan perlunya reformasi menyeluruh.
Proses hukum yang berujung pada penahanan ini bermula dari pengumuman penyidikan KPK pada 27 Agustus 2024, hasil investigasi teliti sejak 6 Agustus 2024. Kedua tersangka, pejabat publik yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, terjerat dalam jaring korupsi yang terstruktur dan sistematis. Upaya KS untuk menghindar dari proses hukum melalui dua kali gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan gagal total, menunjukkan kekuatan bukti yang dimiliki KPK. Penggeledahan rumah dinas dan kantor Bupati pada 28 Agustus 2024 menghasilkan bukti elektronik dan dokumen yang memperkuat dugaan keterlibatan keduanya dalam tindak pidana korupsi, termasuk bukti transfer dana ke rekening pribadi dan dokumen kontrak fiktif. Laporan investigasi internal KPK menyebutkan minimal 5 proyek fiktif yang diidentifikasi, dengan nilai total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 15 miliar.
Modus operandi yang terungkap mengungkap kebejatan sistemik dalam pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Situbondo periode 2021-2024. KS secara sadis memeras calon rekanan dengan meminta "uang investasi" atau ijon sebesar 10% dari nilai proyek. EP, sebagai eksekutor yang tak bermoral, menjalankan perintah KS dengan memanipulasi proses lelang melalui pengaturan dokumen dan penilaian penawaran. Bukti persidangan menunjukkan adanya pertemuan terselubung antara KS, EP, dan para rekanan di lokasi tertentu untuk memfinalisasi kesepakatan koruptif ini. Setelah dana cair, EP kembali meraup keuntungan dengan meminta "uang fee" sebesar 7,5% dari nilai proyek. Kerugian negara yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 15 miliar, dengan KS menerima minimal Rp 5.575.000.000,00 dan EP minimal Rp 811.362.200,00, merupakan bukti nyata ketamakan dan ketidakadilan yang mereka perbuat. Lebih parah lagi, dana PEN yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, malah diabaikan dan digantikan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), menunjukkan penyalahgunaan wewenang yang sistematis. Laporan BPKP yang dirilis sebelumnya juga menunjukkan kelemahan sistem pengawasan internal di Pemkab Situbondo.
Tindakan KS dan EP merupakan pelanggaran berat terhadap Pasal 12 huruf a atau huruf b, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penahanan preventif selama 20 hari, mulai 21 Januari hingga 9 Februari 2025, di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, merupakan langkah tegas untuk mengungkap seluruh jaringan korupsi dan memulihkan kerugian negara. Proses asset tracing yang sedang berjalan diperkirakan akan mengungkap aset harta yang lebih besar dari yang sudah ditemukan.
Kasus ini bukan sekadar kasus individu; ini adalah ancaman sistemik terhadap integritas pemerintahan. Penahanan KS dan EP harus menjadi titik balik untuk reformasi total dalam sistem pengadaan barang dan jasa, perkuat pengawasan, dan tanamkan budaya integritas dan akuntabilitas di seluruh birokrasi. Kepercayaan publik yang tercederai hanya dapat dipulihkan dengan tindakan tegas, transparansi mutlak, dan komitmen yang tak tergoyahkan dalam memberantas korupsi. Hanya dengan demikian, cita-cita pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat terwujud. Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih relatif rendah menunjukkan perlunya upaya ekstra dalam memberantas korupsi di seluruh tingkat pemerintahan.
Bagaimana dengan 4 orang tersangka kasus pembangunan kantor Pemkab Lamongan Jawa Timur yang belum juga di umumkan dan ditahan. Begitu pula dengan kasus gratifikasi dan TPPU eks. Bupati Mojokerto MKP, jilid 2. Serta penggunaan dana PEN Kota Mojokerto Jawa Timur Rp. 101 Miliar sudah dalam penyelidikan namun belum mengarah ke penyidikan?.
Penulis Dion
Editor Djose