Perjalanan Membara Kotib : Bersekolah Meski Terkendala Ekonomi
-Baca Juga
Kotib Aril Ashari seorang pelajar berusia lima belas tahun dari Desa Kedungsari, Tarokan, Kediri, mewujudkan semangat tak tergoyahkan dari jiwa muda yang bertekad untuk mengejar pendidikannya. Perjalanannya, yang ditandai dengan ketahanan luar biasa dan kerja keras, menjadi bukti kuat tentang sejauh mana seseorang akan melangkah untuk meraih mimpinya. Dihadapkan pada keterbatasan ekonomi yang mengancam kemampuannya untuk melanjutkan studi, Kotib membuat keputusan berani untuk merantau ke Mojokerto, sebuah kota jauh dari rumahnya, untuk menjual terompet selama liburan sekolah menjelang Tahun Baru.
Kisah Kotib bukan tentang keistimewaan, melainkan tentang tekad yang kuat. Bayangan seorang anak laki-laki, baru berusia lima belas tahun, berkelana di jalanan Mojokerto yang ramai, tubuh mungilnya dibebani dengan koleksi terompet berwarna cerah, adalah gambaran menyentuh tentang dedikasi dirinya. Lokasi yang dipilihnya, di dekat perlintasan kereta api di Jalan Majapahit, berbicara banyak tentang kecerdasannya. Itu adalah area dengan lalu lintas tinggi, menawarkan potensi penjualan yang lebih besar, tetapi juga lokasi yang membuatnya terpapar cuaca dan ketidakpastian berjualan di jalanan.
Tindakannya untuk berpetualang jauh dari rumah, meninggalkan kenyamanan kampung halaman dan keluarganya, menggarisbawahi kedalaman komitmen Kotib terhadap pendidikannya. Itu bukan sekadar keinginan untuk mendapatkan alat sekolah baru; itu adalah pengakuan mendalam tentang pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depannya. Beban ekonomi pada keluarganya kemungkinan besar memainkan peran penting dalam keputusannya. Dengan mengambil tanggung jawab ini, Kotib tidak hanya meringankan sebagian tekanan pada keluarganya, tetapi juga menunjukkan kedewasaan dan rasa tanggung jawab yang melampaui usianya.
Pengalaman Kotib melampaui tindakan sederhana menjual terompet. Ini adalah narasi tentang kegigihan, ketekunan, dan pengejaran tak tergoyahkan untuk masa depan yang lebih cerah. Setiap terompet yang terjual mewakili langkah lebih dekat ke tujuannya untuk kembali ke sekolah dengan perlengkapan yang diperlukan. Jam kerja yang panjang, kerja fisik, dan paparan ketidakpastian berjualan di jalanan, semuanya merupakan bagian dari perjalanan berat yang dia jalani dengan rela.
Kisahnya juga menyoroti tantangan sistemik yang dihadapi banyak pelajar dari latar belakang kurang beruntung. Kurangnya dukungan ekonomi yang mudah didapat menggarisbawahi perlunya investasi yang lebih besar dalam sumber daya pendidikan dan sistem pendukung untuk pelajar yang, seperti Kotib, dipaksa untuk membuat pilihan sulit untuk mengejar pendidikan mereka.
Kisah Kotib bukan hanya tentang perjuangan individu; itu adalah refleksi dari masalah sosial yang lebih besar. Ini adalah seruan untuk bertindak, mendesak kita untuk merenungkan ketidaksetaraan yang ada dalam sistem pendidikan kita dan untuk mempertimbangkan mekanisme dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk mengejar pendidikan mereka tanpa menghadapi kesulitan yang begitu besar. Perjalanan Kotib, meskipun berat, pada akhirnya adalah kisah harapan, bukti kapasitas luar biasa semangat manusia untuk ketahanan dan pengejaran mimpi yang tak tergoyahkan. Tindakannya menjadi inspirasi, mengingatkan kita tentang kekuatan tekad dan pentingnya berinvestasi dalam pendidikan kaum muda kita.
Penulis Dion
Editor Djose