KADUS PAKIS MENGGUGAT
-Baca Juga
Udara lembap menyelimuti sawah-sawah di sekitar Desa Pakis, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti desa sejak 25 April 2024. Pada hari itu, Heru Sutrisno, Kepala Dusun (kepala desa) Pakis Kulon yang disegani, diberhentikan secara tiba-tiba dari jabatannya oleh kepala desa. Alasan resminya: dugaan perselingkuhan. Namun, kisah ini, seperti sistem irigasi rumit yang membelah sawah, jauh lebih kompleks.
Heru, seorang pria yang dikenal karena ketekunan dan keadilannya, dituduh berselingkuh dengan seorang tetangga, NR. Tuduhan itu muncul dari insiden pada 3 April 2024, saat warga menemukannya di rumah NR ketika suaminya sedang bekerja di luar kota. Warga, yang dipicu oleh gosip dan kecurigaan, bertindak cepat, penilaian mereka terpengaruh oleh kode moral yang tertanam kuat di masyarakat pedesaan mereka. Namun, pemecatan yang terjadi kemudian tidak memiliki proses hukum yang semestinya berdasarkan hukum Indonesia.
Pemecatan tersebut memicu kemarahan di antara beberapa warga yang menghargai kepemimpinan Heru, sementara yang lain tetap teguh dalam kecaman mereka. Garis-garis batas dalam komunitas, yang dulunya jelas, menjadi kabur dalam campuran kekacauan antara loyalitas, pengkhianatan, dan kebencian yang membara.
Heru, seorang pria dengan martabat yang tenang, menolak untuk menerima nasibnya. Dia, bersama tim hukumnya, Matyatim, SH, dan Deny Rudiyanto, SH, memulai pertempuran hukum, menantang keputusan kepala desa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Proses hukum menjadi cerminan dari perjuangan yang lebih besar yang terjadi di dalam desa - bentrokan antara tradisi dan proses hukum, antara penilaian komunitas dan hak individu.
Beberapa bulan kemudian, pada 9 Desember 2024, putusan datang. Pengadilan, dengan kebijaksanaannya, memutuskan untuk mendukung Heru. Pemecatan dinyatakan tidak sah, menjadi korban dari cacat prosedur dan substansi. Pengadilan tidak hanya mengembalikan Heru ke jabatannya, tetapi juga memerintahkan kepala desa untuk memperbaiki kerusakan reputasinya. Kompensasi finansial - Rp 33 juta untuk gaji dan tunjangan yang tertunda - adalah kemenangan sekunder, tertutupi oleh pemulihan kehormatannya.
Namun, kemenangan hukum tidak menghapus bekas luka yang ditinggalkan oleh cobaan itu. Desa tetap terpecah. Insiden ini menyoroti keseimbangan yang rapuh antara harapan masyarakat dan supremasi hukum, ketegangan yang terus membentuk kehidupan mereka yang tinggal di Desa Pakis. Masalah yang semakin rumit adalah masalah terpisah tentang dugaan penyerangan fisik yang dialami Heru di tangan warga pada 3 April 2024, masalah yang dijanjikan oleh pengacaranya untuk ditindaklanjuti. Kisah Heru Sutrisno menjadi pengingat yang menyentuh tentang kompleksitas keadilan, baik di dalam ruang sidang maupun di dalam hati sebuah desa. Gema peristiwa bersejarah ini terus beresonansi, membentuk masa depan Desa Pakis dan mengingatkan semua orang tentang keseimbangan yang rapuh antara tradisi dan hukum.
Penulis Dion
Editor Djose