Gus Muhdlor Ali Lawan Tuntutan JPU KPK 6 Tahun 4 Bulan Penjara Denda Rp 300 Juta Mengembalikan Uang Negara Rp 1,4 Miliar
-Baca Juga
Kota Sidoarjo, yang biasanya tenang, terguncang oleh skandal yang menggoyahkan fondasinya. Kasus ini berpusat pada Ahmad Muhdlor Ali, Bupati Sidoarjo nonaktif, yang akrab disapa Gus Muhdlor. Namanya, yang dulunya identik dengan kepemimpinan lokal, kini terjalin erat dengan jaringan korupsi kompleks yang melibatkan penggelapan insentif pajak dari Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD).
Kisah ini bermula pada 25 Januari 2024, dengan penggerebekan dramatis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Operasi ini, yang dilakukan dengan cepat dan tegas, berujung pada penangkapan Siska Wati, Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian BPPD, dan sebelas orang lainnya. Siska, yang awalnya menjadi tersangka utama, menjadi domino pertama yang jatuh dalam rangkaian peristiwa yang akan mengungkap sistem korupsi yang tertanam kuat.
Penyelidikan mengungkapkan skema sistematis yang beroperasi di dalam BPPD. Selama dua setengah tahun, sebagian besar—antara 10% dan 30%—dari dana insentif pajak yang dialokasikan untuk PNS dialihkan. Ini bukan tindakan sembarangan; ini adalah operasi yang direncanakan dengan cermat, disamarkan dengan kedok "shodaqoh," atau sumbangan amal. Total dana yang digelapkan mencapai angka fantastis Rp 8.544 miliar.
Penyelidikan KPK mengarahkan mereka pada Ari Suryono, mantan Kepala BPPD. Baik Ari dan Siska menghadapi persidangan, kasus mereka berjalan hampir bersamaan. Ratusan saksi, sebagian besar karyawan BPPD, tetapi juga personel dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan bahkan Kantor Pajak Pratama Sidoarjo Barat, memberikan kesaksian, melukiskan gambaran suram tentang sifat korupsi yang merajalela. Ari Suryono dijatuhi hukuman penjara lima tahun dan diharuskan mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 2.7 miliar. Siska Wati dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Sorotan kemudian beralih ke Gus Muhdlor. Penuntut umum berpendapat bahwa dia terlibat dalam skema tersebut, mengutip ketidakkonsistenan dalam pernyataannya dibandingkan dengan pernyataan saksi lainnya. Pada 9 Desember 2024, Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut hukuman enam tahun empat bulan penjara, denda Rp 300 juta, dan pengembalian Rp 1.4 miliar. Kasus penuntutan didasarkan pada dugaan pelanggaran Gus Muhdlor terhadap Pasal 12 huruf F, yang dihubungkan dengan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2021 (yang mengubah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), serta Pasal 55 ayat 1 pertama dan Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pengacara Gus Muhdlor, Mustofa, dengan tegas menolak klaim penuntut umum, berjanji untuk memberikan pembelaan yang kuat dalam persidangan berikutnya yang dijadwalkan pada 16 Desember 2024. Kasus ini terus bergulir, membuat masyarakat Sidoarjo menantikan dengan cemas putusan akhir. Kejadian ini menjadi pengingat yang menyakitkan tentang sifat korupsi yang berbahaya dan dampaknya yang menghancurkan bagi masyarakat, menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Hasil persidangan ini tidak hanya akan menentukan nasib Gus Muhdlor, tetapi juga akan membentuk masa depan tata pemerintahan di Sidoarjo dan berpotensi menjadi preseden untuk kasus serupa di seluruh Indonesia.
Penulis DION
Editor DJOSE