TERANCAM DISKUALIFIKASI Petahana Ikfina Fahmawati Terjerat Dugaan Pelanggaran Mutasi Jabatan
-Baca Juga
LSM AMPP, MUSTIKO ROMADHONI
Mojokerto, Jawa Timur – Dugaan pelanggaran yang dilakukan Bupati Mojokerto petahana, Ikfina Fahmawati, terkait mutasi jabatan menjelang Pilkada serentak 2024, bukan hanya sekadar masalah hukum semata. Kasus ini memiliki dampak yang signifikan, baik terhadap jalannya Pilkada Mojokerto maupun terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Bawaslu Kabupaten Mojokerto telah menyatakan laporan dugaan pelanggaran tersebut memenuhi syarat formil dan materiil. Saat ini, proses verifikasi bukti dan saksi tengah berlangsung, dengan rencana klarifikasi terhadap pelapor, terlapor (Ikfina Fahmawati), dan saksi-saksi dalam beberapa hari ke depan. Hasil penyelidikan akan menentukan apakah pelanggaran yang terjadi bersifat administratif atau pidana.
Dampak terhadap Pilkada Mojokerto 2024:
Dugaan pelanggaran ini berpotensi mengganggu jalannya Pilkada Mojokerto 2024. Jika terbukti bersalah, Ikfina Fahmawati dapat dikenai sanksi, yang berdampak pada pencalonannya kembali sebagai Bupati. Sanksi tersebut bisa berupa diskualifikasi sebagai calon, mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tengah proses Pilkada. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian politik dan mengganggu stabilitas pemerintahan daerah. Proses Pilkada pun berpotensi tertunda atau bahkan diulang, mengakibatkan pemborosan anggaran dan sumber daya.
Selain itu, kasus ini dapat memicu polarisasi politik yang lebih tajam di masyarakat. Pendukung Ikfina mungkin akan merasa kecewa dan marah, sedangkan lawan politiknya dapat memanfaatkan situasi ini untuk menyerang dan menjatuhkan reputasinya. Hal ini dapat mengganggu kondusifitas daerah dan berpotensi memicu konflik sosial.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik:
Kasus ini juga berdampak negatif terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan Kabupaten Mojokerto. Dugaan pelanggaran mutasi jabatan yang dilakukan oleh kepala daerah sendiri menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidaktransparanan dalam pemerintahan. Hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Kepercayaan publik yang rendah dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal kepatuhan terhadap peraturan daerah, partisipasi dalam program pemerintah, dan investasi di daerah. Pemerintah daerah yang kehilangan kepercayaan publik akan kesulitan dalam menjalankan program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dugaan pelanggaran mutasi jabatan yang dilakukan oleh Bupati Ikfina Fahmawati memiliki dampak yang luas dan kompleks. Selain konsekuensi hukum yang akan dihadapi, kasus ini juga berpotensi mengganggu jalannya Pilkada Mojokerto 2024 dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah. Oleh karena itu, proses hukum yang transparan dan adil sangat penting untuk memastikan keadilan ditegakkan dan kepercayaan publik dipulihkan.
Kepala daerah dilarang melakukan mutasi ASN enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan. Larangan ini bertujuan untuk mencegah politisasi birokrasi dan memastikan bahwa ASN tetap netral dalam proses pemilihan.
Jika kepala daerah melanggar larangan mutasi sebelum penetapan calon, mereka dapat menghadapi sanksi administrasi dan pidana. Sanksi administrasi dapat berupa pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Sanksi pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan yang berlaku
Meskipun penetapan calon sudah dilakukan, kepala daerah tetap dilarang melakukan mutasi ASN kecuali dalam tiga kondisi tertentu. Larangan ini bertujuan untuk mencegah kepala daerah terpilih dari melakukan mutasi yang tidak adil terhadap ASN yang tidak mendukung mereka.
Sanksi yang diterapkan kepada kepala daerah yang melanggar larangan mutasi setelah penetapan calon belum secara eksplisit diatur dalam UU Pilkada. Namun, pelanggaran netralitas ASN dapat dikenai sanksi disiplin, yang dapat berupa penurunan pangkat, pemindahan jabatan, pembebasan dari jabatan, atau bahkan pemberhentian sebagai PNS.
Sanksi yang diterapkan kepada kepala daerah yang melanggar larangan mutasi sebelum penetapan calon cenderung lebih berat, termasuk pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon. Sanksi yang diterapkan setelah penetapan calon lebih fokus pada sanksi disiplin terhadap ASN, yang mungkin tidak secara langsung memengaruhi status calon kepala daerah.
Tujuan Larangan mutasi sebelum penetapan calon untuk menjaga netralitas ASN dan mencegah politisasi birokrasi. Larangan mutasi setelah penetapan calon bertujuan untuk mencegah kepala daerah terpilih dari melakukan mutasi yang tidak adil terhadap ASN yang tidak mendukung mereka.
Terdapat perbedaan signifikan dalam sanksi yang diterapkan kepada kepala daerah yang melakukan mutasi ASN sebelum dan sesudah penetapan calon. Sanksi yang diterapkan sebelum penetapan calon cenderung lebih berat dan berfokus pada pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon. Sanksi yang diterapkan setelah penetapan calon lebih fokus pada sanksi disiplin terhadap ASN. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan Pilkada sangat ketat dalam menjaga netralitas ASN dan mencegah politisasi birokrasi, terutama menjelang dan selama proses pemilihan.
Sanksi Bagi Kepala Daerah Petahana yang Melakukan Mutasi, Rotasi, dan Demosi Saat Mencalonkan Kembali
Kepala daerah petahana yang mencalonkan kembali dalam pemilu dilarang melakukan mutasi, rotasi, dan demosi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) selama periode tertentu sebelum penetapan calon. Hal ini bertujuan untuk mencegah politisasi birokrasi dan menjaga netralitas ASN selama proses pemilihan.
Larangan Mutasi dan Sanksi
Aturan: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) melarang kepala daerah petahana yang mencalonkan kembali untuk melakukan mutasi ASN selama enam bulan sebelum penetapan pasangan calon.
Sanksi: Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berakibat pada pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Alasan: Larangan ini bertujuan untuk mencegah petahana memanfaatkan jabatannya untuk mempengaruhi ASN dan menguntungkan dirinya dalam kampanye.
Rotasi dan Demosi
Rotasi: Perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan pada tingkat jabatan yang sama.
Demosi: Penurunan jabatan yang dapat berakibat pada penurunan gaji.
Sanksi: Larangan mutasi juga berlaku untuk rotasi dan demosi karena tindakan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi jabatan untuk kepentingan politik.
Contoh Pelanggaran dan Sanksi
Pada Pilkada 2020, terdapat 10 calon kepala daerah petahana yang didiskualifikasi oleh Bawaslu karena melakukan pelanggaran administrasi, termasuk mutasi ASN.
Beberapa calon petahana juga melakukan program pemerintah yang bersifat populis seperti pemberian dana hibah, wakaf tempat ibadah, dan pembagian sembako, yang kemudian menjadi sumber gugatan lawan calon petahana.
Kepala daerah petahana yang mencalonkan kembali dalam pemilu harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait mutasi, rotasi, dan demosi ASN. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berakibat fatal bagi pencalonan mereka. Penting bagi calon petahana untuk memahami aturan dan sanksi yang berlaku untuk menghindari diskualifikasi dan menjaga integritas proses pemilihan.
Bawaslu, sebagai lembaga pengawas Pemilu, memiliki peran penting dalam mengawasi proses penyelenggaraan Pemilu, termasuk dalam hal ini, proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan. Namun, Bawaslu tidak memiliki wewenang langsung untuk menangani dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan.
Bawaslu Berfokus pada Pengawasan Pemilu.
Bawaslu dibentuk untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu, menerima aduan, menangani kasus pelanggaran administratif Pemilu, dan pelanggaran pidana Pemilu berdasarkan tingkatan sesuai peraturan perundang-undangan .
Bawaslu memiliki tugas untuk: Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan.
Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP.
Meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.
Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu.
Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara
Bawaslu memiliki peran dalam mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam proses Pemilu. Bawaslu dapat menindaklanjuti keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas ASN dalam konteks Pemilu . Namun, Bawaslu tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki atau menindaklanjuti dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan ASN secara umum.
Lembaga Lain yang Berwenang
Lembaga lain yang berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan ASN adalah: Badan Kepegawaian Negara (BKN): BKN memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan ASN.
Aparat Penegak Hukum (APH): APH dapat terlibat jika terdapat dugaan tindak pidana korupsi atau pelanggaran hukum lainnya dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan ASN.
Bawaslu tidak memiliki wewenang langsung untuk menangani dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan. Bawaslu berfokus pada pengawasan Pemilu dan netralitas ASN dalam konteks Pemilu. Lembaga lain seperti BKN dan APH memiliki kewenangan untuk menangani dugaan pelanggaran dalam proses mutasi, rotasi, dan demosi jabatan ASN.
Penulis DIONEditor DJOSE