Mutasi 8 Orang Kepala Puskesmas di Mojokerto: Kental Aroma Politik Praktis Jelang Pilkada 2024 ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Mutasi 8 Orang Kepala Puskesmas di Mojokerto: Kental Aroma Politik Praktis Jelang Pilkada 2024

-

Baca Juga


Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tengah dihebohkan dengan mutasi sejumlah kepala puskesmas yang terkesan janggal dan penuh tanda tanya. Sekitar delapan dokter dan non-dokter di non-jobkan dari jabatan mereka tanpa penjelasan yang jelas dari Kepala Dinas Kesehatan setempat. Mutasi ini mendapat persetujuan dari Bupati Mojokerto, yang juga seorang dokter.
 
Anehnya, mutasi ini dilakukan pada 1 Agustus 2024, tepatnya jelang tahapan pencoblosan Pemilu serentak 27 November 2024.  Tidak hanya kepala puskesmas, seorang dokter spesialis gigi di rumah sakit milik pemerintah daerah juga dimutasi ke UPT Puskesmas biasa.  Pertanyaan pun muncul: apakah ada sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas tersebut?

 Situasi ini menimbulkan kecurigaan kuat bahwa mutasi ini bermotif politik praktis.  Bupati Mojokerto, yang seharusnya memahami pentingnya profesionalitas dan netralitas dalam bidang kesehatan, justru terkesan mengabaikan hal tersebut.  Para ahli menilai bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap asas demokrasi dan etika pemerintahan.
 
"Ini sesuai dengan ketentuan Putusan MA Nomor 570 tahun 2016 tentang Pilkada. Orang itu telah menyalahgunakan wewenang," tegas Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otda Kemendagri, dalam sebuah diskusi publik.
 
Senada dengan Djohermansyah, Hamdan Zoelva, ahli Hukum Tata Negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), juga menyatakan bahwa tindakan kepala daerah petahana yang melakukan mutasi jabatan ASN menjelang Pilkada bisa berujung pada pembatalan pencalonannya, bahkan diskualifikasi dan pemberhentian.
 
"Pernah bupati memutasi lebih dari 10 camat. Camat datang ke MK dan protes. MK memutuskan ini membahayakan demokrasi, merusak demokrasi dengan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya," ungkap Hamdan.
 
Pakar kepemiluan, Titi Anggraini, juga mengingatkan bahwa Pilkada harus tunduk pada asas luber jurdil dan demokratis.  "Tak ada pembedaan pilkada dan pemilu. Karena itu, harus patuh pada asas luber jurdil, demokratis. Sehingga pemilu jadi bermakna, tidak sekadar simbolik, ritual, seremoni," tegasnya.
 
"Saya khawatir mutasi ini akan berdampak buruk pada kualitas layanan kesehatan di puskesmas," ujar  Susi, seorang warga Mojokerto. "Kami sudah terbiasa dengan kepala puskesmas yang lama, dan mereka sangat profesional.  Sekarang kami tidak tahu bagaimana kinerja kepala puskesmas yang baru, dan apakah mereka akan mampu memberikan layanan yang sama baiknya."
 
Mutasi kepala puskesmas di Mojokerto menjadi contoh nyata bagaimana politik praktis dapat menggerogoti sistem pemerintahan dan mengorbankan kepentingan publik.  Tindakan ini tidak hanya melanggar asas demokrasi, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan yang berkualitas.  Pemantauan dan pengawasan yang ketat dari berbagai pihak diperlukan untuk mencegah terulangnya tindakan serupa dan memastikan integritas proses demokrasi di Indonesia.
 
Mutasi kepala puskesmas di Kabupaten Mojokerto yang dilakukan tanpa kejelasan dan menjelang pemilihan umum 2024 menggarisbawahi implikasi politik yang serius bagi integritas demokrasi di Mojokerto. Tindakan ini tidak hanya menciptakan keraguan tentang netralitas birokrasi, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan dan pemerintah secara keseluruhan.
 
Dengan adanya indikasi bahwa mutasi ini mungkin dipengaruhi oleh kepentingan politik praktis, kita melihat bagaimana jabatan publik dapat disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Praktik semacam ini dapat mengakibatkan distorsi dalam pelayanan publik, di mana keputusan-keputusan yang seharusnya berdasarkan kebutuhan masyarakat justru dipengaruhi oleh agenda politik tertentu.
 
Kepala daerah petahana yang melakukan mutasi semacam ini seharusnya diingatkan akan konsekuensi hukum dan etika dari tindakan mereka. Jika tidak ada tindakan tegas dari lembaga pengawas dan masyarakat, maka situasi ini dapat menciptakan preseden berbahaya yang merusak fondasi demokrasi dan memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.
 
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait untuk bersikap proaktif dalam menjaga integritas proses politik dan memastikan bahwa pelayanan publik tetap menjadi prioritas utama, terlepas dari dinamika politik yang ada. Hanya dengan cara ini kita dapat membangun sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan benar-benar melayani kepentingan rakyat.

Penulis DION 
Editorial DJOSE 

Mungkin Juga Menarik × +
VIDEOS
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode