KH. ASEP SYAIFUDDIN CHALIM
Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aroma wewangian dan rasa harap. Di dalam kantor Kiai Asep yang besar dan sinar matahari sore memancarkan bayangan panjang di atas hamparan karpet indah dan meja kursi sofa. Laporan terbaru ke Bawaslu, yang menuduhnya melanggar netralitas sebagai ASN, menyelimuti dirinya seperti kain sutera. Namun Kiai Asep, dengan wajahnya yang terukir oleh kebijaksanaan bertahun-tahun membimbing orang lain, tetap tenang.
Dia menceritakan peristiwa itu, suaranya bergema rendah, membawa bobot keyakinannya. Tawaran dari Nusron Wahid, tokoh yang dihormati, untuk bergabung dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran sebagai penasihat, datang tak terduga. Namun, daya pikat untuk mendukung Prabowo, calon yang sangat dia yakini, tak tertahankan. Dia melihat sebuah jalan, cara untuk berkontribusi secara berarti, meskipun itu berarti mengorbankan posisinya sebagai dosen di UIN Sunan Ampel.
"Buku paradoks," begitu dia menyebutnya, menjadi pemicu. Buku itu meneguhkan keputusannya, mendorongnya untuk mendukung sepenuhnya visi Prabowo untuk bangsa. Segera setelah pengumuman TKN, dia mengajukan surat pengunduran dirinya. Dia belum menerima pensiun resmi, tetapi bersikeras bahwa dia tidak menerima gaji sejak pengunduran dirinya dan bahwa tindakannya selaras dengan komitmennya untuk transparansi penuh. Keterlambatan dalam pembaruan database PDDikti, jelasnya, hanyalah kelalaian administrasi.
Laporan dari Relawan Nderek Kiai Majapahit dan Loyalis Bunda Ikfina (LOBI) menusuk, tetapi tidak meruntuhkannya. Dia memahami kekhawatiran mereka, pentingnya menjaga integritas ASN. Dia telah bertindak dengan itikad baik, percaya bahwa tindakannya tidak tercela. Dedikasinya pada prinsip-prinsip agamanya, tegasnya, menuntut hal itu. Dia adalah seorang Kiai, dan kata-katanya serta tindakannya harus selaras dengan standar etika tertinggi. Kegagalan untuk memberi tahu TKN tentang pengunduran dirinya adalah tanggung jawab pribadi yang dia tanggung, konsekuensi dari keputusannya. Dia menerima tanggung jawab itu sepenuhnya.
Kisah Kiai Asep bukan hanya tentang dukungan politik; ini tentang komitmen seorang pria yang tak tergoyahkan pada keyakinannya, bahkan ketika itu berarti mengorbankan kenyamanan pribadi dan kedudukan profesional. Ini adalah bukti integritasnya, sebuah kisah yang akan diperdebatkan dan dibicarakan lama setelah hasil pemilihan umum diumumkan. Keanggunan yang tenang di kantornya, diterangi oleh sinar matahari sore, berbicara banyak tentang kekuatan keyakinannya.
"Buku paradoks" yang dimaksud adalah buku karya Prabowo Subianto yang membahas tentang paradoks Indonesia. Buku ini mengupas kondisi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, namun sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan.
Kiai Asep menganggap buku ini sebagai "buku paradoks" karena buku ini menantang pemikiran umum tentang kondisi Indonesia. Buku ini mengemukakan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar, masih banyak masalah yang harus diatasi. Kiai Asep tergerak oleh pemikiran Prabowo dalam buku ini, yang menurutnya menawarkan solusi untuk mengatasi paradoks tersebut.
Buku ini menjadi faktor penting dalam keputusan Kiai Asep untuk bergabung dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Kiai Asep melihat buku ini sebagai manifestasi visi Prabowo untuk Indonesia, yang selaras dengan keyakinannya sendiri. Buku ini meyakinkannya bahwa Prabowo memiliki pemahaman yang mendalam tentang permasalahan Indonesia dan memiliki rencana konkret untuk membangun bangsa.
Dengan membaca buku ini, Kiai Asep merasa terdorong untuk mendukung Prabowo, karena dia percaya bahwa Prabowo memiliki potensi untuk membawa perubahan positif bagi Indonesia. Dia melihat buku ini sebagai jalan untuk berkontribusi secara berarti dalam mewujudkan visi Prabowo untuk bangsa.
Meskipun keputusan ini berdampak pada posisinya sebagai dosen di UIN Sunan Ampel, Kiai Asep tetap yakin dengan keputusannya. Dia percaya bahwa dukungannya terhadap Prabowo adalah bentuk pengabdiannya kepada bangsa dan bahwa visi Prabowo selaras dengan nilai-nilai yang dia yakini.
"Buku paradoks" ini menjadi titik balik dalam perjalanan Kiai Asep. Buku ini tidak hanya memicu keputusannya untuk bergabung dengan TKN, tetapi juga menegaskan komitmennya untuk mendukung Prabowo.
Kiai Asep menghadapi dilema setelah bergabung dengan TKN. Sebagai seorang Kiai, dia memiliki komitmen kuat untuk mendukung Prabowo, namun dia juga seorang dosen di UIN Sunan Ampel, sebuah lembaga pendidikan yang harus netral dalam politik.
Untuk menyeimbangkan kedua komitmen ini, Kiai Asep mengambil beberapa langkah: Mengundurkan diri dari jabatan dosen: Kiai Asep menyadari bahwa posisinya sebagai dosen di UIN Sunan Ampel bisa menimbulkan konflik kepentingan jika dia terus aktif dalam TKN. Untuk menjaga integritasnya dan menghindari bias politik dalam proses pembelajaran, Kiai Asep memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan dosen.
Menghindari kegiatan kampanye di lingkungan kampus: Meskipun dia mendukung Prabowo, Kiai Asep menghindari kegiatan kampanye di lingkungan kampus. Dia tidak ingin melibatkan mahasiswa dalam politik praktis dan menjaga netralitas kampus sebagai lembaga pendidikan.
Memisahkan peran sebagai Kiai dan dosen: Kiai Asep menjaga pemisahan antara peran sebagai Kiai dan dosen. Dalam kapasitasnya sebagai Kiai, dia bebas untuk menyatakan dukungannya terhadap Prabowo, namun dalam kapasitasnya sebagai dosen, dia fokus pada tugas mengajar dan penelitian.
Mempertahankan profesionalitas: Dalam mengajar, Kiai Asep tetap berpegang pada prinsip profesionalitas. Dia tidak menggunakan kelas untuk mempromosikan Prabowo atau menyerang lawan politik. Dia tetap fokus pada materi pelajaran dan memberikan pendidikan yang berkualitas kepada mahasiswa.
Menjelaskan alasan pengunduran dirinya: Kiai Asep terbuka dan jujur kepada mahasiswa dan koleganya tentang alasan pengunduran dirinya. Dia menjelaskan bahwa dia ingin fokus pada kegiatan politik dan tidak ingin ada konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya sebagai dosen.
Meskipun keputusan Kiai Asep untuk bergabung dengan TKN menimbulkan kontroversi, dia berusaha untuk menyeimbangkan komitmennya dengan tetap menjaga integritas dan profesionalitasnya. Dia menunjukkan bahwa seorang Kiai tetap bisa mendukung calon politik tanpa mengorbankan nilai-nilai agama dan etika yang dia yakini.
Kiai Asep, dalam konteks ini, tampaknya percaya bahwa tindakannya dapat menjadi contoh bagi dosen lain yang ingin terlibat dalam politik. Dapat disimpulkan bahwa dia melihat tindakannya sebagai solusi untuk menjaga integritas dan profesionalitas dosen dalam politik.
Alasan mengapa tindakan Kiai Asep dapat menjadi contoh: Menjaga Netralitas Kampus: Pengunduran dirinya dari jabatan dosen menunjukkan komitmennya terhadap netralitas kampus sebagai lembaga pendidikan. Ini menjadi contoh bagi dosen lain yang ingin terlibat dalam politik untuk mempertimbangkan dampak tindakan mereka terhadap lingkungan kampus.
Memisahkan Peran: Kiai Asep dengan jelas memisahkan peran sebagai Kiai dan dosen. Ini menegaskan bahwa dosen yang ingin terlibat dalam politik dapat melakukannya tanpa mengorbankan profesionalitas mereka sebagai pendidik.
Mencegah Konflik Kepentingan: Pengunduran dirinya dan menghindari kegiatan kampanye di kampus menunjukkan upaya untuk mencegah konflik kepentingan. Ini menjadi contoh bagi dosen lain untuk mempertimbangkan potensi konflik kepentingan dalam keterlibatan mereka dalam politik.
Transparansi dan Kejujuran: Kiai Asep terbuka dan jujur tentang alasan pengunduran dirinya. Ini menunjukkan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam proses pengambilan keputusan bagi dosen yang ingin terlibat dalam politik.
Meskipun tindakan Kiai Asep dapat menjadi contoh, penting untuk diingat bahwa setiap kasus berbeda. Dosen lain mungkin memiliki situasi dan konteks yang berbeda, sehingga mereka perlu mempertimbangkan secara matang dan bertanggung jawab sebelum mengambil keputusan untuk terlibat dalam politik.
Namun, tindakan Kiai Asep dapat menjadi inspirasi bagi dosen lain untuk menemukan cara untuk terlibat dalam politik sambil tetap menjaga integritas dan profesionalitas mereka sebagai pendidik.
Penulis Dion
Editor Djose