Ban Kempes dan Tangan Penolong yang Tak Terduga
-Baca Juga
Matahari terik di hari Jum'at 29 Nopember 2024 menyengat punggung Pak Budi, kulitnya terasa lengket oleh keringat. Ia mendorong motor bututnya, Honda Supra X kesayangannya, di jalan raya menuju Pasar Pacet. Ban belakangnya benar-benar kempes, karetnya sudah terlihat aus dan retak di beberapa bagian. Ia sudah mendorong motornya hampir satu kilometer, dari sebuah pertigaan dekat masjid tua hingga ke sini. Bau aspal panas menyengat hidungnya, dan rasa haus yang menyengat membuat tenggorokannya terasa seperti tergores pasir. Bahunya terasa nyeri, dan keputusasaan mulai menggerogoti hatinya. Bagaimana ia bisa pulang ke rumah jika motornya tidak bisa diperbaiki?
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam elegan, sebuah Toyota Camry keluaran terbaru, berhenti di sampingnya. Jendelanya turun, memperlihatkan wajah ramah Dokter Cipto, rambutnya yang hitam tertata rapi. Dokter Cipto, yang dikenal ramah dan murah senyum di puskesmas kesehatan Pacet, baru saja pulang dari sholat Jumat di Masjid Al-Barokah. Ia mengenakan baju koko putih bersih dan peci hitam.
"Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Dokter Cipto, suaranya lembut dan penuh perhatian. Nada bicaranya yang tenang langsung menenangkan Pak Budi.
Pak Budi mengangguk, suaranya serak karena kelelahan. "Ban motor saya kempes, Dokter. Saya sudah mencari bengkel, tapi belum ketemu." Ia menunjuk ke arah ban belakang motornya yang tampak mengenaskan.
"Oh, ada bengkel kecil di sekitar sini. Kira-kira lima puluh meter ke selatan, setelah tikungan tajam itu," jawab Dokter Cipto, jari telunjuknya menunjuk arah. "Tapi..." Dokter Cipto mengamati Pak Budi lebih cermat. Wajah Pak Budi yang penuh keringat dan pakaiannya yang kusut menunjukkan betapa lelahnya ia. "Pak, apakah Bapak punya cukup uang untuk memperbaikinya?"
Pak Budi menunduk, wajahnya memerah. Ia merogoh dompetnya yang sudah usang, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas yang jumlahnya tak seberapa. "Sepertinya tidak cukup, Dokter. Ban dalamnya mungkin harus diganti, rusaknya cukup parah." Ia menghela napas panjang.
Tanpa banyak kata, Dokter Cipto meraih dompetnya yang terbuat dari kulit halus berwarna cokelat tua. Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah yang baru, masih rapi dan terlipat dengan sempurna. Ia menyerahkannya kepada Pak Budi. "Untuk ban dalam baru, Pak. Semoga cukup." Senyum hangat terukir di wajahnya.
Mata Pak Budi berkaca-kaca. Ia tak percaya dengan kebaikan orang asing ini. "Dokter," terbata-bata Pak Budi, suaranya bergetar karena emosi, "Kebaikan Bapak... saya tak tahu harus berkata apa. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda. Semoga karir Bapak semakin cemerlang, dan semoga Allah mengangkat derajat Bapak." Ia menundukkan kepalanya, tak kuasa menahan air mata haru.
Dokter Cipto tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Pak. Segera perbaiki saja. Saya mau ke puskesmas sekarang. Puskesmas kami buka sampai jam 5 sore. Kalau Bapak punya waktu, mampir saja ke puskesmas, saya akan memeriksa kondisi Bapak secara gratis."
"Terima kasih, Dokter," jawab Pak Budi, suaranya tersedak karena rasa syukur. "Terima kasih atas kebaikan Bapak."
Saat Dokter Cipto melaju pergi dengan mobilnya yang elegan, Pak Budi menatapnya, rasa lega yang mendalam menyelimuti dirinya. Ia menatap uang di tangannya, air mata menetes di pipinya. Masih ada orang baik di dunia ini, pikirnya, kehangatan memenuhi dadanya, jauh lebih besar daripada panas matahari siang itu.
Penulis Dion
Editor Djose