Api Jihad & Bakiak Sakti Almaghfirulloh KH Abdul Chalim Kakek Gus Barra Dalam Pertempuran 10 Nopember 1945 ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Api Jihad & Bakiak Sakti Almaghfirulloh KH Abdul Chalim Kakek Gus Barra Dalam Pertempuran 10 Nopember 1945

-

Baca Juga


Mentari pagi menyinari kota Cirebon dengan teriknya. Udara terasa panas, namun tak menyurutkan semangat para pejuang yang berbondong-bondong berkumpul di Masjid Agung. Di antara mereka, berdiri tegap KH. Abdul Chalim Leuwimunding, seorang ulama kharismatik yang aura kewibawaannya memikat hati. Matanya memancarkan tekad bulat, tangannya menggenggam erat tasbih, bibirnya berbisik doa.

"Saudaraku," suaranya bergema, menggetarkan hati para hadirin, "Kemerdekaan telah kita raih, namun belum sepenuhnya aman. Di Surabaya, saudara-saudara kita sedang berjuang mati-matian mempertahankan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kita tak bisa tinggal diam!"

"Benar, Kiai!" sahut seorang pemuda dengan semangat. "Kita harus membantu mereka!"

"Kita akan berangkat sekarang juga!" seru KH. Abdul Chalim, suaranya penuh keyakinan. "Hadratus Syech, Kiai Buntet, bagaimana pendapat kalian?"

"Setuju, Kiai," jawab Hadratus Syech Hasyim Asy'ari, pemimpin Nahdlatul Ulama, dengan tegas. "Kita harus segera membantu saudara-saudara kita di Surabaya."

"Insya Allah, kita akan berjuang bersama," timpal KH. Buntet Cirebon, ulama berpengaruh di Jawa Barat.

Tanpa ragu, mereka beranjak meninggalkan Cirebon. Langkah kaki mereka ringan, seolah tak merasakan beratnya perjalanan. Di antara mereka, KH. Abdul Chalim berjalan di depan, dipandu oleh bisikan doa dan tekad bulat.

"Hanya dua jam perjalanan, Insya Allah kita sampai di Surabaya," ucap KH. Abdul Chalim dengan tenang, seakan-akan jarak ratusan kilometer tak berarti apa-apa.

"Dua jam, Kiai?" tanya seorang pejuang dengan heran, matanya terbelalak. "Bagaimana mungkin? Surabaya itu jauh, Kiai!"

"Ya, memang jauh," jawab KH. Abdul Chalim dengan tenang, "Namun, dengan izin Allah SWT, kita akan sampai di sana dengan cepat."

"Tapi, Kiai," timpal seorang pejuang lain, "Bagaimana dengan kelelahan? Bagaimana dengan kebutuhan istirahat?"

"Kita tidak akan lelah, saudaraku," jawab KH. Abdul Chalim dengan yakin. "Iman dan tekad bulat kita akan menjadi kekuatan yang tak terhentikan. Kita akan dibantu oleh  Allah SWT."

"Subhanallah," gumam beberapa pejuang, takjub mendengar keyakinan KH. Abdul Chalim.

"Tapi, Kiai," sahut seorang pejuang muda dengan ragu, "Bagaimana jika kita bertemu dengan pasukan Belanda di jalan? Bagaimana jika mereka menyerang kita?"

"Jangan takut, saudaraku," jawab KH. Abdul Chalim dengan tegas. "Allah SWT akan melindungi kita. Kita akan berjuang dengan penuh keyakinan dan keberanian."

"Insya Allah," sahut para pejuang, meskipun masih sedikit ragu.

"Percayalah, saudaraku," tambah KH. Abdul Chalim dengan lembut. "Kita akan sampai di Surabaya dalam waktu dua jam. Kita akan membantu saudara-saudara kita di sana. Kita akan berjuang bersama-sama untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia."

Meskipun masih sedikit ragu, para pejuang tergerak oleh keyakinan dan semangat KH. Abdul Chalim. Mereka memutuskan untuk mengikuti langkah sang ulama kharismatik, dengan harapan dan doa agar Allah SWT meridhoi perjuangan mereka.

"Bismillah," ucap para pejuang, bertekad bulat untuk membantu saudara-saudara mereka di Surabaya.

Di belakangnya, Hadratus Syech Hasyim Asy'ari dan KH. Buntet Cirebon berjalan beriringan. Mereka berdua adalah sahabat karib KH. Abdul Chalim, dan bersama-sama mereka berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Kiai Chalim memang luar biasa," gumam Hadratus Syech Hasyim Asy'ari sambil tersenyum. "Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kita."

"Amin," sahut KH. Buntet Cirebon.

Perjalanan mereka diiringi oleh doa dan lantunan ayat suci. Setiap langkah mereka terasa ringan, seolah kekuatan gaib menuntun mereka.

"Subhanallah, ini mustahil!" gumam salah seorang pejuang, takjub melihat kecepatan perjalanan mereka.

"Kekuatan iman dan tekad bulat, saudaraku," jawab KH. Abdul Chalim dengan senyum lembut.

Akhirnya, mereka tiba di Surabaya. Kota itu dipenuhi asap dan kobaran api. Suara tembakan menggema di mana-mana. Para pejuang Surabaya sedang bertempur mati-matian melawan pasukan Inggris yang ingin merebut kembali kekuasaan mereka.

KH. Abdul Chalim langsung menuju medan pertempuran. Dengan kharisma dan wibawanya, ia berhasil mengobarkan semangat para pejuang.

"Pertahankan tanah air kita! Kemerdekaan telah kita raih dengan susah payah. Jangan biarkan penjajah merampas kembali hak kita!" seru KH. Abdul Chalim, suaranya menggema di tengah hiruk pikuk pertempuran.

"Siap berjuang, Kiai!" teriak para pejuang Surabaya dengan semangat.

Para pejuang Surabaya semakin bersemangat. Mereka bertempur dengan gagah berani, mengandalkan bambu runcing dan senjata seadanya.

Namun, pasukan Inggris memiliki senjata yang jauh lebih canggih. Pesawat tempur mereka berseliweran di langit, menjatuhkan bom dan peluru.

"Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu," doa KH. Abdul Chalim, tangannya terangkat ke langit.

Tiba-tiba, sebuah pesawat tempur Inggris menukik tajam, mengarahkan senjatanya ke arah para pejuang.

"Astaghfirullah!" teriak KH. Abdul Chalim,  menggelengkan kepalanya.

Seketika, sendal kayu yang dikenakannya, bakiak, melayang ke udara. Bakiak itu berputar-putar di udara, lalu menghantam pesawat tempur Inggris. Pesawat itu oleng, lalu jatuh terhempas ke tanah.

"Subhanallah!" teriak para pejuang, takjub melihat keajaiban yang terjadi.

"Kiai Chalim memang luar biasa," gumam Hadratus Syech Hasyim Asy'ari, takjub. "Kekuatan imannya sungguh dahsyat."

"Allah SWT selalu bersama kita," jawab KH. Abdul Chalim dengan tenang.

Dengan kekuatan gaib yang dimilikinya, KH. Abdul Chalim mampu menahan serangan udara pasukan Inggris.  Bambu runcing para pejuang Surabaya pun terasa sakti, mampu menangkis peluru-peluru yang ditembakkan oleh penjajah.

"Bismillahirrahmanirrahim!" KH. Abdul Chalim berteriak, mengarahkan tangannya ke arah musuh.

Seketika, angin berputar-putar, menghantam para tentara Inggris. Mereka terhuyung-huyung, senjata mereka jatuh dari tangan.

"Allahu Akbar!" teriak para pejuang Surabaya, bersorak gembira.

Pertempuran 10 November 1945 menjadi saksi bisu atas kedigdayaan para ulama Indonesia. KH. Abdul Chalim, Hadratus Syech Hasyim Asy'ari, dan KH. Buntet Cirebon, dengan kekuatan iman dan karomah mereka, berhasil mengalahkan pasukan Inggris dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Di Mojokerto, Jawa Timur, beberapa minggu menjelang Pilkada serentak 27 November 2024, KH. Khoirul Amin, seorang ulama kharismatik dari Jetis Mojokerto Jawa Timur, sedang memberikan pencerahan kepada masyarakat pendukung Gus Barra, cucu dari KH. Abdul Chalim Leuwimunding.

"Kakek Gus Barra, KH. Abdul Chalim, adalah seorang pejuang sejati," tutur KH. Khoirul Amin. "Beliau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, dan selalu berpesan agar kita menjaga kedaulatan bangsa."

"Beliau juga memiliki karomah yang luar biasa," tambah KH. Khoirul Amin, "Sendal kayunya mampu menahan serangan udara pesawat tempur Inggris. Dengan kekuatan imannya, bambu runcing para pejuang Surabaya menjadi senjata sakti yang mampu menundukkan senjata otomatis penjajah."

"Benar, Pak Kiai," sahut seorang warga dengan antusias. "Kisah kakek Gus Barra memang luar biasa!"

Kisah KH. Abdul Chalim dan sendal kayunya yang sakti menjadi inspirasi bagi Gus Barra dalam pertempuran memperebutkan kedaulatan rakyat Mojokerto.

"Kakek saya mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin yang berjuang untuk rakyatnya," ucap Gus Barra, penuh semangat. "Saya akan terus berjuang untuk rakyat Mojokerto, demi keadilan dan kesejahteraan mereka."

Kisah KH. Abdul Chalim dan para ulama lainnya dalam pertempuran 10 November 1945 menjadi bukti nyata bahwa kekuatan iman dan karomah mampu mengalahkan kekuatan senjata.  Kisah ini juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berjuang demi kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Penulis DION 

Editor DJOSE 

Mungkin Juga Menarik × +
VIDEOS
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode