## Pria yang Menemukan Panggilannya dalam Tidur 40 Hari
-Baca Juga
Sucipto beraksi dengan lincah. Tangannya. Menari nari diatas tubuh pasiennya.
Bengkel Sepatu yang Sepi
Udara di bengkel Sucipto dipenuhi aroma kulit dan debu. Sebuah bohlam tunggal yang telanjang memancarkan cahaya kuning redup di atas meja kerja kayu yang usang, di mana alat-alat tergeletak berserakan seperti tentara yang terlupakan setelah pertempuran panjang. Di luar, matahari terbenam di bawah cakrawala, melukis langit dengan warna jingga dan ungu, tetapi di dalam, satu-satunya gerakan adalah sesekali kedipan ngengat yang tertarik pada cahaya.
Sucipto, pria yang namanya terasa lembut di telinga seperti pijatan yang menenangkan, duduk membungkuk di atas sepasang sandal usang, keningnya berkerut dalam konsentrasi. Dia adalah seorang tukang sepatu, pengrajin kulit dan benang, tetapi akhir-akhir ini, bengkelnya telah menjadi tempat perlindungan kesunyian. Pelanggan langka, dan industri rumahan yang dulunya berkembang pesat telah menyusut menjadi bisikan kecil.
Dia adalah pria yang menyukai kesederhanaan, Sucipto, puas dengan ritme palu yang menghantam kulit, dengungan mesin jahitnya yang tenang. Tetapi bahkan kesenangan yang paling sederhana pun dapat kehilangan pesonanya ketika terselubung dalam bayangan keputusasaan.
Sucipto bukanlah pria yang memiliki ambisi besar. Dia tidak menginginkan apa pun selain penghasilan tetap, atap di atas kepalanya, dan cukup beras untuk menghidupi keluarganya. Tetapi akhir-akhir ini, bahkan keinginan sederhana itu tampak di luar jangkauan.
Dia menghela napas, mendorong sandal itu ke samping. Kulit itu terasa dingin dan tak bernyawa di bawah sentuhannya, kontras dengan kehangatan tangannya sendiri. Dia menggosok matanya, merasakan nyeri di bahunya, teman yang akrab dalam hidupnya yang penuh kerja keras.
"Mungkin tidur siang akan membuatku lebih baik," gumamnya, meregangkan anggota tubuhnya yang kaku.
Dia berbaring di kasur usang di sudut bengkel, menarik selimut tipis ke tubuhnya. Saat kelopak matanya berkedut menutup, dunia di sekitarnya memudar menjadi kabur.
Mimpi tentang Lelaki Berjanggut
Dia bermimpi tentang padang rumput yang luas dan terbuka, yang disinari cahaya keemasan matahari terbenam. Udara dipenuhi aroma bunga liar dan dengungan lebah yang lembut. Dia merasakan kedamaian yang belum pernah dia rasakan selama bertahun-tahun, perasaan puas yang menyapa dirinya seperti gelombang hangat.
Kemudian, dia melihatnya.
Seorang lelaki tua, janggutnya panjang dan putih, matanya berbinar dengan kebijaksanaan. Dia berdiri di tepi padang rumput, siluetnya terlihat jelas di balik matahari terbenam yang menyala-nyala.
"Sucipto," lelaki tua itu berkata, suaranya dalam dan bergema, "Kau adalah pria dengan tangan penyembuh."
Sucipto terkejut. Dia tidak pernah bermimpi tentang hal seperti itu. Dia adalah tukang sepatu, pengrajin kulit, bukan penyembuh.
"Aku adalah tukang sepatu," dia tergagap, "Aku memperbaiki sepatu, bukan tubuh."
Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang penuh makna yang tampak menembus jiwa Sucipto. "Tanganmu dimaksudkan untuk lebih dari sekadar kulit, temanku. Kau memiliki anugerah sentuhan, kekuatan untuk menenangkan dan menyembuhkan."
Dia menunjuk ke pohon di dekatnya, cabangnya dipenuhi mangga matang. "Lihat mangga itu, Sucipto? Itu adalah hadiah dari bumi, dimaksudkan untuk memberi makan dan menopang. Tanganmu seperti mangga itu, dimaksudkan untuk memberi makan dan menopang jiwa-jiwa yang lelah di dunia ini."
Sucipto merasakan tarikan aneh ke arah lelaki tua itu, rasa pengertian yang melampaui kata-kata.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya, suaranya nyaris bisikan.
Lelaki tua itu meletakkan tangannya di bahu Sucipto, sentuhannya hangat dan menenangkan. "Kau harus mempelajari seni pijat, temanku. Kau harus menjadi terapis, penyembuh tubuh yang lelah dan pikiran yang gelisah."
Sucipto terbangun dengan kaget, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu hidup, sehingga dia masih bisa merasakan sentuhan lelaki tua itu di bahunya.
Dia duduk tegak, pikirannya berpacu. Mimpi itu telah menggugah sesuatu di dalam dirinya, secercah harapan, percikan kemungkinan.
Mungkinkah itu benar? Mungkinkah dia, seorang tukang sepatu sederhana, benar-benar bisa menjadi terapis?
Tidur Siang 40 Hari
Sucipto menghabiskan beberapa hari berikutnya dalam keadaan bingung. Mimpi itu menghantuinya, kata-kata lelaki tua itu bergema di benaknya.
Dia mencoba untuk menganggapnya sebagai khayalan belaka, produk kelelahan dan keputusasaannya. Tetapi mimpi itu terasa terlalu nyata, terlalu dalam untuk diabaikan.
Dia memutuskan untuk mengambil lompatan iman. Dia menutup bengkelnya, mengemasi sedikit barang bawaan, dan memulai perjalanan. Dia pergi ke desa terdekat, mencari terapis pijat terkenal, ahli di bidangnya.
Terapis itu, seorang wanita tua yang berwajah keriput dengan senyum lembut dan tangan yang bergerak dengan anggun seperti penari, menyambutnya dengan tangan terbuka. Dia melihat sesuatu pada Sucipto, percikan potensi yang tidak bisa dia abaikan.
"Kau memiliki anugerah alami, Sucipto," katanya, suaranya lembut dan menenangkan. "Kau memiliki sentuhan yang berbicara tentang penyembuhan."
Dia setuju untuk mengajarinya, tetapi dia memiliki satu syarat: dia harus menjalani masa meditasi dan introspeksi yang intens.
"Kau harus belajar mendengarkan suara batinmu, Sucipto," katanya, "untuk terhubung dengan sumber kekuatan penyembuhanmu."
Sucipto setuju. Dia menghabiskan empat puluh hari berikutnya di sebuah ruangan kecil dan terpencil, bermeditasi, merenung, dan mendengarkan bisikan jiwanya. Dia berlatih latihan pernapasan dalam, belajar mengendalikan pikiran dan tubuhnya. Dia mempelajari teks-teks kuno tentang pijat dan penyembuhan, menyerap kebijaksanaan dari generasi-generasi sebelumnya.
Dia menyebutnya "tidur siang 40 hari," masa introspeksi dan pencerahan spiritual yang mendalam.
Pria dengan Tangan Penyembuh
Setelah empat puluh hari, Sucipto muncul dari pengasingan yang dia ciptakan sendiri, seorang pria yang telah berubah. Kelelahan telah menghilang dari matanya, digantikan oleh kejelasan dan tujuan baru. Tangannya, yang dulunya kasar karena bertahun-tahun membuat sepatu, sekarang memiliki sentuhan lembut, kehangatan yang menenangkan yang memancar dari dalam.
Dia kembali ke desanya, hatinya dipenuhi keinginan untuk berbagi anugerah barunya. Dia mendirikan sebuah tempat pijat kecil, tempat perlindungan kedamaian dan ketenangan di tengah hiruk pikuk jalanan desanya.
Kabar tentang sentuhan penyembuhnya menyebar dengan cepat. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat berbondong-bondong datang ke tempat pijatnya, mencari kelegaan dari rasa sakit dan nyeri mereka, kecemasan dan tekanan mereka. Tangan Sucipto, yang dulunya terbatas di dunia kulit dan benang, sekarang menari di atas otot-otot yang lelah, meredakan ketegangan, mengembalikan keseimbangan, dan membawa ketenangan bagi jiwa-jiwa yang gelisah.
Dia dikenal sebagai "Sucipto, Pria dengan Tangan Penyembuh," bukti kekuatan transformatif mimpi, kebijaksanaan lelaki tua berjanggut, dan keberanian untuk merangkul panggilan yang tersembunyi di kedalaman jiwanya sendiri.
Penulis DION
Editorial DJOSE