Pemotongan Dana Kapitasi: Ancaman Serius Terhadap Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Mojokerto
-Baca Juga
Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto.
Pemotongan dana kapitasi pelayanan kesehatan di Puskesmas Kabupaten Mojokerto sebesar 60% atau Rp 50 juta oleh Dinas Kesehatan setempat merupakan langkah yang mengkhawatirkan dan berpotensi mengancam akses dan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Pemotongan ini dipicu oleh pemblokiran kartu JKN KIS PBID milik sekitar 92.000 warga Kabupaten Mojokerto. Akibatnya, masyarakat tidak mampu yang mengandalkan kartu tersebut untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis kini terpaksa mengeluarkan biaya sendiri saat berobat di Puskesmas atau rumah sakit milik pemerintah.
Situasi ini semakin diperparah dengan pemotongan anggaran kapitasi yang diterima Puskesmas. Dengan hanya 40% dari anggaran semula, Puskesmas dihadapkan pada kesulitan dalam memenuhi kebutuhan operasional, termasuk pengadaan obat-obatan, peralatan medis, dan pemeliharaan fasilitas.
Padahal, pelayanan kesehatan di Puskesmas Kabupaten Mojokerto telah diatur berdasarkan Surat Keputusan Bupati, yang menjamin akses layanan kesehatan bagi seluruh warga. Pemotongan dana kapitasi ini berpotensi menyebabkan layanan kesehatan di Puskesmas menjadi amburadul dan carut marut, dengan dampak serius bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Pemerintah daerah harus segera bertindak untuk mengatasi situasi ini. Mereka perlu meninjau kembali kebijakan pemotongan dana kapitasi dan mencari solusi untuk memulihkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat. Dialog dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan organisasi masyarakat, menjadi langkah penting untuk menemukan solusi yang tepat dan berkelanjutan.
Dana kapitasi merupakan sistem pembayaran yang digunakan oleh BPJS Kesehatan, program jaminan kesehatan nasional Indonesia, untuk mengganti biaya fasilitas kesehatan dalam memberikan layanan kepada peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Sistem ini melibatkan pembayaran sejumlah uang tetap kepada fasilitas kesehatan, seperti puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), per peserta terdaftar, terlepas dari jumlah layanan yang sebenarnya digunakan.
BPJS Kesehatan secara langsung membayar dana kapitasi kepada bendahara FKTP yang ditunjuk. Bendahara ini ditunjuk oleh kepala daerah berdasarkan usulan kepala Dinas Kesehatan, melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Dana kapitasi diakui sebagai pendapatan oleh FKTP.
Pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi diatur dalam Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2014, khususnya untuk FKTP milik pemerintah daerah yang belum menerapkan model pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Peraturan ini menguraikan proses pembayaran dan pemanfaatan dana kapitasi.
Pelaksanaan peraturan ini diawasi oleh kepala Dinas Kesehatan dan kepala FKTP, dengan pengawasan fungsional yang diberikan oleh aparatur pengawas pemerintah. Jika dana kapitasi tidak sepenuhnya digunakan dalam tahun anggaran, dana tersebut dapat dialihkan ke tahun berikutnya.
Pemkab Mojokerto menyebutkan bahwa penonaktifan KIS disebabkan oleh ketidakmampuan membayar iuran. Ini menunjukkan adanya masalah dalam pengelolaan program bantuan kesehatan, yang seharusnya memberikan akses kesehatan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tanggung Jawab Pemerintah
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan yang memadai.
KIS adalah bagian dari JKN yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat.
Dampak Penonaktifan
Peningkatan Risiko Kesehatan: Penonaktifan kartu akan mengakibatkan masyarakat yang tidak mampu kehilangan akses terhadap layanan kesehatan, berpotensi memperburuk kondisi kesehatan mereka.
Ketidakpuasan Publik: Kebijakan ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang merasa hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan diabaikan.
Pemkab perlu melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap program KIS agar lebih efektif dalam menjangkau masyarakat yang membutuhkan.
Meningkatkan alokasi anggaran untuk program kesehatan guna memastikan semua warga negara, terutama yang tidak mampu, mendapatkan akses yang layak.
Melakukan sosialisasi mengenai hak dan kewajiban masyarakat terkait kesehatan serta program-program yang tersedia.
Penonaktifan KIS, berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap akses layanan kesehatan bagi warga, terutama bagi mereka yang tidak mampu.
Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi:
Meningkatnya Beban Biaya Kesehatan: Warga yang kehilangan akses KIS akan kesulitan untuk membiayai pengobatan mereka. Hal ini dapat menyebabkan penundaan pengobatan, atau bahkan mereka terpaksa tidak berobat sama sekali karena tidak mampu.
Peningkatan Risiko Kesehatan: Penundaan pengobatan dapat memperburuk kondisi kesehatan dan meningkatkan risiko penyakit yang lebih serius. Hal ini bisa berdampak pada kualitas hidup dan bahkan mengancam jiwa.
Kesulitan Menjangkau Fasilitas Kesehatan: Warga yang tidak mampu mungkin kesulitan untuk menjangkau fasilitas kesehatan, baik karena biaya transportasi atau karena sulitnya mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas.
Ketimpangan Akses Kesehatan: Penonaktifan KIS dapat memperparah ketimpangan akses kesehatan antara masyarakat yang mampu dan tidak mampu. Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan kesehatan yang semakin lebar.
Peningkatan Beban Pemerintah: Jika warga yang tidak mampu tidak dapat mengakses layanan kesehatan, pemerintah mungkin harus menanggung beban biaya pengobatan yang lebih besar melalui program bantuan sosial atau layanan kesehatan gratis.
Penulis DION
Editorial DJOSE