KADES RANDUHARJO PUNGGING TERANCAM DITAHAN
-Baca Juga
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) Kabupaten Mojokerto telah meneruskan kasus dugaan pelanggaran netralitas oleh Kepala Desa Randuharjo, Edo Yudha Arista (EYA), ke kepolisian. Keputusan ini diambil setelah pertemuan bersama antara Bawaslu, kepolisian, dan Kejaksaan, di mana ketiga lembaga tersebut sepakat bahwa dugaan pelanggaran tersebut memenuhi unsur pidana.
Dugaan Pelanggaran: Dugaan pelanggaran tersebut melibatkan Pasal 188 jo Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah). Undang-undang ini secara tegas melarang pejabat negara, pejabat daerah, ASN, anggota TNI/Polri, kepala desa, dan kepala daerah untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama pemilihan kepala daerah.
Kasus terhadap EYA bermula dari video viral yang menunjukkan dia diduga mendukung calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Mojokerto. Dia juga dituduh membawa sejumlah uang yang diduga digunakan untuk politik uang.
Penyelidikan Bawaslu : Bawaslu telah menyelidiki kasus ini sejak dilaporkan oleh Suhartono, Ketua Prabu Satu Nasional Mojokerto. Penyelidikan melibatkan pemeriksaan lima saksi, termasuk pelapor, dua saksi lainnya, dan anggota tim kampanye calon yang bersangkutan.
Selama penyelidikan, EYA dipanggil oleh Bawaslu dan mengklaim bahwa video tersebut hanyalah lelucon. Namun, Bawaslu menganggap bukti yang ada cukup untuk meneruskan kasus tersebut ke kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut.
Implikasi dan Langkah Selanjutnya. Keputusan Bawaslu untuk meneruskan kasus ini ke kepolisian mengirimkan pesan kuat kepada seluruh ASN dan kepala desa di Kabupaten Mojokerto. Ini menekankan pentingnya netralitas selama pemilihan dan menyoroti konsekuensi dari pelanggaran hukum.
Polisi sekarang akan melakukan penyelidikan sendiri atas dugaan pelanggaran tersebut. Jika terbukti bersalah, EYA dapat menghadapi dakwaan pidana dan hukuman. Hasil dari kasus ini akan diawasi dengan ketat karena akan menjadi preseden untuk kasus serupa yang melibatkan pelanggaran netralitas selama pemilihan mendatang.
Kasus ini juga menggarisbawahi peran penting yang dimainkan oleh Bawaslu dalam memastikan pemilihan yang adil dan demokratis. Dengan menyelidiki dan meneruskan kasus-kasus seperti ini ke kepolisian, Bawaslu membantu menjaga integritas proses pemilihan dan mencegah pengaruh yang tidak semestinya dari pejabat publik.
Berdasarkan hasil penyelidikan Bawaslu, Kepala Desa Randuharjo, Edo Yudha Arista (EYA), diduga melanggar Pasal 188 jo Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pelanggaran ini terkait dengan tindakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu calon dalam pemilihan kepala daerah.
EYA Kades Randu Harjo Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.Jika terbukti bersalah, EYA dapat menghadapi beberapa sanksi, antara lain: Sanksi Pidana: Pasal 188 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengatur tentang larangan bagi pejabat negara, termasuk kepala desa, untuk melakukan tindakan yang merugikan atau menguntungkan calon tertentu. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bisa berupa penjara dan denda.
Pemberhentian dari Jabatan: Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 mengatur tentang akuntabilitas Kepala Desa. Jika terbukti melanggar aturan, Kepala Desa dapat dikenai sanksi berupa teguran hingga pemberhentian dari jabatan.
Denda: Selain sanksi pidana dan pemberhentian, Kepala Desa juga dapat dikenai denda jika terbukti melanggar aturan terkait dengan keterbukaan informasi publik.
Penting untuk dicatat bahwa jenis dan tingkat keparahan sanksi yang dijatuhkan akan tergantung pada hasil penyelidikan dan persidangan. Kepolisian akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut dan menentukan apakah ada cukup bukti untuk mengajukan tuntutan.
Kasus ini menjadi contoh penting tentang pentingnya netralitas bagi pejabat publik selama proses pemilihan. Pelanggaran terhadap aturan netralitas dapat berakibat serius dan berdampak pada kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Setelah menerima kasus dugaan pelanggaran netralitas Kepala Desa Randuharjo dari Bawaslu, Kepolisian akan mengambil langkah-langkah berikut:
Menerima dan Menilai Kasus: Kepolisian akan menerima berkas perkara dari Bawaslu, termasuk bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Mereka akan meneliti berkas tersebut untuk menilai apakah ada cukup bukti untuk melanjutkan proses hukum.
Penyelidikan Lebih Lanjut: Jika Kepolisian menganggap bukti yang ada cukup kuat, mereka akan membuka penyelidikan lebih lanjut. Penyelidikan ini akan melibatkan:
Pemeriksaan Saksi: Kepolisian akan memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang terkait dengan kasus ini, termasuk EYA, pelapor, dan saksi-saksi lainnya.
Pengumpulan Bukti Tambahan: Kepolisian dapat melakukan pengumpulan bukti tambahan, seperti memeriksa rekaman video, memeriksa rekening bank, atau melakukan olah TKP jika diperlukan.
Penyidikan: Jika hasil penyelidikan menunjukkan cukup bukti untuk mengajukan tuntutan, Kepolisian akan melakukan penyidikan. Penyidikan ini akan fokus pada:
Memperkuat Bukti: Kepolisian akan berusaha memperkuat bukti yang ada dan mencari bukti tambahan yang mendukung tuduhan pelanggaran.
Menentukan Tersangka: Kepolisian akan menetapkan tersangka jika mereka yakin bahwa EYA bertanggung jawab atas pelanggaran netralitas.
Penyerahan Berkas Perkara: Setelah penyidikan selesai, Kepolisian akan menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan untuk diproses lebih lanjut.
Penuntutan: Kejaksaan akan meneliti berkas perkara dan memutuskan apakah akan mengajukan tuntutan ke pengadilan.
Persidangan: Jika Kejaksaan mengajukan tuntutan, kasus ini akan diadili di pengadilan. Hakim akan memutuskan apakah EYA bersalah dan menentukan hukuman yang pantas.
Langkah-langkah yang diambil oleh Kepolisian akan bergantung pada hasil penyelidikan dan penilaian mereka terhadap bukti yang ada. Proses hukum ini dapat memakan waktu dan melibatkan berbagai tahap.
Kemungkinan Kepala Desa Randuharjo, Edo Yudha Arista (EYA), ditahan setelah kasus ini diserahkan ke kepolisian. Keputusan untuk menahan tersangka merupakan wewenang penyidik kepolisian.
Berikut beberapa faktor yang dapat memengaruhi keputusan penahanan:
Bukti yang Cukup Kuat: Jika penyidik menganggap bukti yang ada cukup kuat untuk menunjukkan bahwa EYA terlibat dalam pelanggaran netralitas dan berpotensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya, maka penahanan dapat dipertimbangkan.
Tingkat Keparahan Pelanggaran: Jika pelanggaran yang dilakukan EYA dianggap serius, seperti melibatkan jumlah uang yang besar atau memiliki dampak signifikan terhadap proses pemilihan, maka penahanan lebih mungkin dilakukan.
Riwayat Tersangka: Jika EYA memiliki riwayat pelanggaran hukum sebelumnya, atau jika penyidik menilai bahwa dia memiliki potensi untuk mengulangi perbuatannya, maka penahanan dapat dipertimbangkan.
Dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada Kepala Desa Randuharjo jika terbukti melanggar netralitas adalah:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada): Pasal 188 jo Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada secara tegas melarang pejabat negara, termasuk kepala desa, untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama pemilihan kepala daerah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu): Pasal 280 UU Pemilu mengatur larangan bagi kepala desa dan perangkat desa untuk menjadi pelaksana atau tim kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berakibat pidana penjara maksimal 1 tahun dan denda Rp 12.000.000.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Undang-undang ini mengatur tentang akuntabilitas Kepala Desa. Jika terbukti melanggar aturan, Kepala Desa dapat dikenai sanksi berupa teguran hingga pemberhentian dari jabatan.
Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Kepala Desa Randuharjo jika terbukti melanggar netralitas meliputi:
Sanksi Pidana: Penjara dan denda berdasarkan Pasal 188 UU Pilkada dan Pasal 280 UU Pemilu.
Sanksi Administratif: Teguran hingga pemberhentian dari jabatan berdasarkan UU Desa.
Denda: Denda dapat dijatuhkan jika terbukti melanggar aturan terkait dengan keterbukaan informasi publik.
Kasus ini menjadi contoh penting tentang pentingnya netralitas bagi pejabat publik selama proses pemilihan. Pelanggaran terhadap aturan netralitas dapat berakibat serius dan berdampak pada kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Selain sanksi yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat beberapa jenis sanksi lain yang dapat dikenakan kepada Kepala Desa Randuharjo jika terbukti melanggar netralitas. Sanksi-sanksi ini berasal dari peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang pemerintahan desa dan keterbukaan informasi publik.
Berikut beberapa jenis sanksi tersebut:
Sanksi Administratif Berdasarkan UU Desa: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur tentang akuntabilitas Kepala Desa.
Jika terbukti melanggar aturan, Kepala Desa dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran hingga pemberhentian dari jabatan.
Denda Berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik:
Jika Kepala Desa terbukti melanggar Pasal 26 ayat (4) huruf p UU Desa, misalnya dengan sengaja tidak memberikan informasi publik kepada pemohon, maka ia dapat dikenai denda berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Penulis DION
Editorial DJOSE